Thursday, June 2, 2011

Orang Rantai dan Tambang Mbah Suro



Memasuki kota Sawahlunto, dari kota Padang, Anda akan melihat kota mungil ini dikelilingi bukit. Setelah melalui jalanan menanjak kemudian jalanan turun, maka tampaklah Kota Tambang itu di bawah. Kota seluas sekitar 274 km2 ini dihuni sekitar 53 ribu penduduk. Kota ini pernah ditinggalkan penduduk, yang kebanyakan penambang, kala persediaan batubara di kota ini menipis. Itu terjadi di awal tahun 2000. Kini kota ini mulai menggeliat setelah Wali Kota Amran Nur berkomitmen merevitalisasi kota lama Sawahlunto seluas sekitar 6 km2 beserta bangunan tua dan peninggalan atau pusaka dari zaman kolonial.

Salah satu peninggalan Belanda di Sumatra Barat yang sekitar dua tahun lalu ditemukan dan langsung dibenahi demi meningkatkan wisata bekas kota tambang ini tak lain adalah Lubang Mbah Soero atau Lubang Mbah Suro. Tempat ini, sesuai namanya, tak lain adalah lubang bekas tambang batubara. Lubang ini merupakan lubang utama bekas tambang batubara yang ada di Tangsi Baru Kelurahan Tanah Lapang, Kecamatan Lembah Segar.

Meski hanya berupa lubang bekas tambang batubara, namun tempat itu punya kisah panjang dan menarik. Dari sinilah kemudian lahir nama “Orang Rantai”. Orang rantai tak lain adalah sebutan bagi pekerja tambang, yang tak lain adalah pesakitan di zaman Belanda, yang dikirim dari berbagai daerah di Hindia Belanda termasuk Batavia. Para buruh itu dirantai sambil dipaksa menambang batubara demi kepentingan Belanda.
Lubang Suro disebut-sebut mirip dengan Goa Jepang di Bukittinggi, tampaknya tidak tepat. Sebab Lubang Suro dibangun jauh lebih awal oleh Belanda sementara Goa Jepang dibangun oleh Jepang di sekitar tahun 1930-an. Lubang Suro juga lebih unik karena berada di bawah kota Sawahlunto dan mengular hingga sekitar 1,5 km.

Mbah Suro dikenal sebagai mandor orang rantai dan masyarakat, beliau juga dikenal memiliki ilmu kebathinan yang tinggi. Ia jadi panutan warga. Mbah Suro ini memiliki lima anak dengan 13 cucu. Istrinya adalah seorang dukun beranak. Mbah Suro meninggal sebelum tahun 1930 dan dimakamkan di pemakaman orang rantai, Tanjung Sari, Kota Sawahlunto Sumatra Barat. Lebar lubang tambang ini sekitar dua meter dengan ketinggian dua  meter. Lubang dengan kedalaman 15 meter dari permukaan tanah ini sudah dipugar sejauh 186 meter. Masih ada lubang lain yang berada lebih di bawah lubang pertama, namun belum tersentuh pemugaran. Di lubang pertama yang sudah dipugar, proses pembersihan lumpur dan pemompaan air dari lubang ini dilakukan sekitar 20 hari.

Di dinding tersebut masih bias dilihat bahkan dipegang batubara kualitas super. Selama pemugaran, ditemukan banyak kerangka manusia, termasuk paha manusia, dan peninggalan Belanda berupa minuman beralkohol. Tak aneh jika untuk masuk ke dalam lubang, ada beberapa peringatan yang harus dipatuhi pengunjung. Selain harus menggunakan topi pengaman, karena air masih menetes dari dinding lubang, pengunjung juga harus menggunakan sepatu bots karena lantai lubang basah dan penuh air. Pengunjung juga diwanti-wanti agar tak bicara kotor dan bagi perempuan, tak boleh sedang datang bulan. Tiket masuk seharga Rp 7.500 pengunjung bisa menapaktilas di bekas tambang batubara selama sekitar 25 menit. Saat keluar dari lubang, kita akan muncul di seberang jalan.

1 comment:


  1. Thanks infonya min :)
    Ternyata Sawahlunto menyimpan nilai sejarah yang sangat berharga min.

    Agan-gan kalau mau lihat Lubang Mbah Suro dengan foto virtual. bisa lihat di sini:

    http://indonesiavirtual.com/index.php?option=com_jumi&fileid=11&Itemid=109&id_img=238

    Salam kenal

    ReplyDelete