Memasuki kota Sawahlunto, dari kota Padang, Anda akan melihat
kota mungil ini dikelilingi bukit. Setelah melalui jalanan menanjak kemudian
jalanan turun, maka tampaklah Kota Tambang itu di bawah. Kota seluas sekitar
274 km2 ini dihuni sekitar 53 ribu penduduk. Kota ini pernah ditinggalkan
penduduk, yang kebanyakan penambang, kala persediaan batubara di kota ini
menipis. Itu terjadi di awal tahun 2000. Kini kota ini mulai menggeliat setelah
Wali Kota Amran Nur berkomitmen merevitalisasi kota lama Sawahlunto seluas
sekitar 6 km2 beserta bangunan tua dan peninggalan atau pusaka dari zaman
kolonial.
Salah satu peninggalan Belanda di Sumatra Barat yang sekitar dua
tahun lalu ditemukan dan langsung dibenahi demi meningkatkan wisata bekas kota
tambang ini tak lain adalah Lubang Mbah Soero atau Lubang Mbah Suro. Tempat
ini, sesuai namanya, tak lain adalah lubang bekas tambang batubara. Lubang ini
merupakan lubang utama bekas tambang batubara yang ada di Tangsi Baru Kelurahan
Tanah Lapang, Kecamatan Lembah Segar.
Meski hanya berupa lubang bekas tambang batubara, namun tempat
itu punya kisah panjang dan menarik. Dari sinilah kemudian lahir nama “Orang
Rantai”. Orang rantai tak lain adalah sebutan bagi pekerja tambang, yang tak
lain adalah pesakitan di zaman Belanda, yang dikirim dari berbagai daerah di
Hindia Belanda termasuk Batavia. Para buruh itu dirantai sambil dipaksa
menambang batubara demi kepentingan Belanda.
Lubang Suro disebut-sebut mirip dengan Goa Jepang di
Bukittinggi, tampaknya tidak tepat. Sebab Lubang Suro dibangun jauh lebih awal
oleh Belanda sementara Goa Jepang dibangun oleh Jepang di sekitar tahun
1930-an. Lubang Suro juga lebih unik karena berada di bawah kota Sawahlunto dan
mengular hingga sekitar 1,5 km.
Mbah Suro dikenal sebagai mandor orang rantai dan masyarakat,
beliau juga dikenal memiliki ilmu kebathinan yang tinggi. Ia jadi panutan
warga. Mbah Suro ini memiliki lima anak dengan 13 cucu. Istrinya adalah seorang
dukun beranak. Mbah Suro meninggal sebelum tahun 1930 dan dimakamkan di
pemakaman orang rantai, Tanjung Sari, Kota Sawahlunto Sumatra Barat. Lebar lubang tambang ini sekitar
dua meter dengan ketinggian dua meter. Lubang dengan kedalaman 15 meter
dari permukaan tanah ini sudah dipugar sejauh 186 meter. Masih ada lubang lain
yang berada lebih di bawah lubang pertama, namun belum tersentuh pemugaran. Di
lubang pertama yang sudah dipugar, proses pembersihan lumpur dan pemompaan air
dari lubang ini dilakukan sekitar 20 hari.
Di dinding tersebut masih bias dilihat bahkan dipegang batubara
kualitas super. Selama pemugaran, ditemukan banyak kerangka manusia, termasuk
paha manusia, dan peninggalan Belanda berupa minuman beralkohol. Tak aneh jika
untuk masuk ke dalam lubang, ada beberapa peringatan yang harus dipatuhi
pengunjung. Selain harus menggunakan topi pengaman, karena air masih menetes
dari dinding lubang, pengunjung juga harus menggunakan sepatu bots karena
lantai lubang basah dan penuh air. Pengunjung juga diwanti-wanti agar tak
bicara kotor dan bagi perempuan, tak boleh sedang datang bulan. Tiket masuk
seharga Rp 7.500 pengunjung bisa menapaktilas di bekas tambang batubara selama
sekitar 25 menit. Saat keluar dari lubang, kita akan muncul di seberang jalan.
ReplyDeleteThanks infonya min :)
Ternyata Sawahlunto menyimpan nilai sejarah yang sangat berharga min.
Agan-gan kalau mau lihat Lubang Mbah Suro dengan foto virtual. bisa lihat di sini:
http://indonesiavirtual.com/index.php?option=com_jumi&fileid=11&Itemid=109&id_img=238
Salam kenal